Kisah Bapak Birokrat

Bertepatan dengan hari ini, Sabtu 4 Februari 2017 yang jatuh sebagai hari kanker sedunia. Izinkan saya untuk mengutip dan berbagi salah satu kisah dari buku yang baru saya baca beberapa hari lalu.  Ditulis oleh seorang 'mantan' pengidap penyakit kanker.





Setelah Hidup Diperpanjang Lima Tahun

SENIN 6 Agustus 2012, genap lima tahun saya “hidup baru”. Allahu Akbar! Kalau teringat begitu parahnya kondisi badan saya lima tahun yang lalu, rasanya tidak terbayangkan saya masih hidup hari ini. Allahu Akbar! Apalagi dengan kualitas hidup yang nyaris sempurna seperti sekarang ini. Allahu Akbar!

                Sejak saya muntah darah tujuh tahun yang lalu, dan kemudian diketahui sepanjang saluran pencernaan saya sudah penuh dengan gelembung darah yang siap pecah (akan diikuti dengan muntah darah atau buang air darah), harapan hidup waktu itu hamper hilang.

                Harapan hidup itu lebih tipis lagi setelah diketahui bahwa limpa saya sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar dari limpa normal. Itu berarti limpa tersebut sudah siap meledak yang menjadi penyebab kematian kapan saja. Apalagi hat sya yang terkena virus hepatitis B pun statusnya sudah menjadi sirosis, mengeras dan tidak berbentuk hati lagi.

Vonis bahwa umur saya maksimal tinggal enam bulan lagi harus saya terima seletah dipastikan bahwa di dalam hati saya sudah penuh dengan kanker. Ukuran kankernya pun sudah besar-besar. Sudah ada yang 2 cm, 4 cm, dan 6 cm. Bibit bibit kanker lainnya masih puluhan jumlahnya.
Saya tidak akan lupa ucapan dokter ahli di Singapura, yang sudah begitu pasrahnya terutama ketika saya mengeluh kesakitan setiap kali mengenakan sepatu. Kaki saya sudah bengkak begitu besarnya. Sepatu saya tidak muat lagi.
“Ya Ganti sepatu saja!” ujar dokter yang pasiennya 80% orang Indonesia itu. Padahal, waktu itu, saya mengharapkan jalan keluar bagaimana agar bengkak kaki saya itu bisa diatasi. “tidak ada jalan lain. Ganti Sepatu. Kalau bengkaknya sudah ebih besar lagi, ganti sepatu lagi!”
Saya tidak jengkel dengan ucapannya itu. Bahkan saya tersenyum karena terasa ada lucunya. Itulah cara dokter memaksa saya melakukan transplatasi. Tidak ada jalan lain lagi.
Hanya transplantasi yang bisa menyelamatkan. Itu pun tidak bisa transplantasi separo hati (diambilkan dari hati istri atau anak atau pendonor), karena seluruh hati saya sudah hancur.
Harus hati sepenuh hati yang berarti hanya bisa didapat dari orang yang meninggal. “Kalaupun itu bisa didapat dan kalaupun itu nanti sukses.” Kata dokter tersebut, “paling hanya bisa menambah umur saya lima tahun.” Saya jugaa tidak akan lupa ucapan dokter itu berikutnya, “tapi tambah umur lima tahun kann lumayan. Waktu itu nanti umur Anda kan sudah 61 tahun. Sudah lebih panntas meninggal.”
Saya memang akrab dengan dokter itu sehingga sekeras apa pun ucapannya tidak membuat saya kecewa. Sang dokter juga tahu bahwa saya cukup intelek menerima kata-kata yang meskipun bernada keras tapi sangat ilmiah.
Mengapa hasil transplantasi itu hanya bisa memperpanjang umur lima tahun? Secara ilmiah bisa diterangkan begini: virus hepatitis B dan sel-sel kanker hati saya itu, logikanya, sudah ikut beredar di darah. Berarti virus hepatitis B dan sel-sel kanker hati saya itu sudah berada dimana-mana. Ketika saya mendapatkan hati baru, dan hati baru tersebut dilewati darah yang sudah membawa virus dan sel-sel tersebut otomatis hinggap lagi di hati yang baru.
Lalu virus hepatitisnya berkembang lagi, hati menjadi sirosis lagi, muntah darah lagi, bengkak lagi, dan kanker merajalela lagi.
Teori seperti itulah yang membuat tekad untuk melakukan transplantasi kadang mengendur. Untuk apa transplantasi. Mahal sekali dan belum tentu berhasil. Berhasil pun hanya untuk lima tahun. Pun, tambahan hidup lima tahun itu belum tentu bisa dinikmati. Bisa jadi kualitas hidup pasca transplantasi tersebut adalah kualitas hidup yang sangat rendah: harus minum banyak obat, sering masuk rumah sakit, menyusahkan keluarga, dan menghabiskan banyak uang.

                Tapi orang hidup tidak boleh pesimistis

                Tidak Boleh putus asa.

                La taiasu!

                La tahzan!

                Ingat ajaran agama: berikhtiar itu bukan mubah, bukan sunah tapi wajib!

                Jadilah saya memutuskan transplantasi hati.

               Tapi saya juga tidak berharap terlalu banyak. Takut kecewa. Orang yang tidak berharap banyakk hidupnya bisa lebih bahagia.

               Termasuk , saya juga tidak membayangkan bahwa setelah transplantasi nanti saya bisa jalan-jalan jauh. Saya pikir, saya nanti bisa hidup tapi dengan aktivitas yang terbatas. Kalau sebelum transplantasi saya putuskan membeli helikopter, antara lain untuk persiapan siapa tahu bisa membantu mobilitas saya.

                Allahu Akbar!

                Tranplantasi saya berhasil.

             Kualitas hidup saya setelah transplantasi ternyata tidak selemah seperti yang saya bayangkan. Ternyata saya bisa bekerja, bisa kemana-mana dan bisa dimana-mana. Saya bisa berolahraga setiap hari selamma 1,5 jam!

              Bahkan, kalau monas lagi hujan, saya berolahraga dengan menaiki tangga darurat gedung-gedung pencakar langit milik BUMN di Jakarta: gedung Kementerian BUMN di dekat Monas, gedung Pertamina di dekat Masjid Istiqlal, Gedung BTN di Harmoni, gedung Bank Mandiri di Jalan Gatot Subroto, gedung Bank Rakyat Indonesia di dekat Jembatan Semanggi, dan terakhir gedung bank BNI di dekat patung Jenderal Sudirman. Tidak ada lagi gedung BUMN yang belum saya naik-turuni.

             Rekor amatir saya: 16 menit naik, 12 menit turun!

            Ulang tahun kelima, Senin ini, tidak ada acara khusus karena dua kali sidang kabinet. Tapi kemarin, sehari penuh 1.000 penghafal Al-Quran (Hufadz) berkumpul di Jakarta untuk khataman. Nanti sore, istri saya yang pertama, kedua, ketiga, dan keempat yang, hehe..., semuanya bernama Nafsiah Sabri, mengundang kelompok pengajian ibu-ibu untuk buka bersama.

           Selama empat tahun hidup baru, saya selalu berada di lokasi yang berbeda. Ketika baru setahun “hidup baru”, saya berada di Kashmir yang saat itu lagi amat tegang oleh perang saudara. Tahun kedua saya sudah diajak Bapak Presiden SBY ke USA, Meksiko, Peru, dan Brasil.

           Saya agak was-was menempuh perjalanan begitu jauh dan berat saat itu. Tapi ternyata tidak ada masalah yang besar.

          Tahun ketiga saya ke Tiongkok untuk check-up total. Dan tahun keempat, tanpa disangka-sangka, saya menjadi CEO PLN dan mengundang 1.000 Hufadz untuk khataman Al-Qur’an.

Allahu Akbar!

Hari ini, lima tahun terlewati dengan penuh berkah. Allah memberikan nikmat jauh melebihi dari yang saya gambarkan. Jauh sekali.

Semula, tidak lama setelah saya siuman dari pengaruh anestesi selama 13 jam, setelah saya menyadari bahwa operasi saya berhasil (meski masih untuk sementara), setelah saya mengucapkan rasa syukur, saya pun bertekad untuk tidak mau lagi mengurus perusahaan. Terutaa karena selama dua tahun saya sakit toh perusahaan tetap berkembang.

Lalu saya hanya ingin mau mengerjakan tiga hal saja: menjadi guru jurnalistik menulis buku, dan kemudian mengurus pesantren keluarga. Kebetulan keluarga kami emiliki lebih dari 100 buah madrasah yang tergabung dalam Pesantren Sabilil Muttaqien, yang didirikan oleh seorang mursyid tarekat Syathariyah. Saya merasa bersalah karena selama itu saya terlalu sibuk ‘mencari duit’ sehingga kurang ikut mengurus pesantren ini.

Sama sekali tidak membayangkan kalau suatu saat saya diminta oleh Bapak Presiden SBY untuk menjadi CEO PLN. Saya sudah merasa bahagia kalau bisa menjadi guru jurnalistik, menulis buku, dan mengurus pesantren. Tidak ada bayangan sama sekali menjadi pejabat.

Saya pun sudah mencoba menolak mati-matian jabatan CEO PLN itu, tapi pada akhirnya ini: dengan memperpanjang umur saya, mungkin Allah punya kehendak lain yang harus saya kerjakan. Saya pun menerima takdir itu. Pun ketika kemudian harus menjadi Menteri Negara BUMN.

Toh saya masih tetap bisa mengajar jurnalistik, menulis buku, dan mengurus pesantren keluarga.

Pekerjaan penting menjelang lima tahun “hidup baru” ini tentu harus saya lakukan: memerika apakah sel-sel kanker di badan saya, sisa-sisa kanker dulu.

Allahu Akbar

Tidak Ada.

(Buku Manufacturing Hope Bisa! Halaman 235-239, oleh Dahlan Iskan 2012)




Awal mula saya membeli buku ini jujur tertarik karena harganya yang murah, saya beli disalah satu toko buku yang saat itu sadang cuci gudang. Saya dapatkan bukunya hanya dengan harga 20.000 rupiah. Kutipan singkat dibelakangnya buku ini isinya  tentang gagasan Pak Dahlan dalam mengelola BUMN, saya tertarik karena buku tentang BUMN tidak banyak dan alangkah bagusnya kalau buku ini ditulis oleh Menterinya langsung.  Kemudian ketika saya baca pengantarnya ternyata dari Rhenald Kasali pastinya udah meyakinkan saya buku ini bagus, tapi ada yang membuat saya ragu. Buku ini buku tahun 2012, buku lama. Tetapi keraguan itu saya tepis dan membawa buku 20.000 rupiah itu ke kasir.

Kutipan salah satu bagian dari buku “Manufacturing Hope Bisa!” yang ditulis oleh Bapak Dahlan Iskan ini pada tahun 2012 lalu. Dan pada saat ini, tahun 2017 kita tahu bahwa beliau sedang ramai dibicarakan media. Dijerat beberapa kasus korupsi sebelumnya yang ternyata tidak terbukti bahwa beliau bersalah atas tuduhannya. Kemudian saat ini kembali direjat kasus korupsi, kali ini soal proyek mobil listrik yang itu bergulir ketika beliau menjadi Menteri BUMN.

Saya tidak akan memberikan keberpihakan saya kepada beliau, saya akan tetap berpihak kepada apa yang memang seharusnya diyakini sebagai kebenaran. Jujur ada rasa simpati saya terhadap beliau atas tuduhan kasus tersebut. Usai saya membaca buku tersebut, justru saya merasa semakin berhati hati. Saya harap buku yang telah saya baca ini memang benar benar sepenggal kisah yang mengambarkan ketulusan beliau dalam menjalani hidupnya. Saya harap negara ini yang kita yakini sebagai negara hukum memang membuktikan kalau hukum adalah alat yang bisa kami para rakyat percayai dan yakini. Semoga hukum yang kami yakini tidak hanya mengungkapkan kebenaran terhadap kasus beliau, tapi juga membuat kami semua kembali dan semakin yakin akan masa depan negeri kita ini. Diatas tangan tangan orang yang rela mengabdi secara tulus.



Dan tulisan ini saya dedikasikan buat seluruh penderita Kanker di Indonesia.

Jangan pernah berhenti berjuang, karena Seperti nyanyian grup duo musik yang akan selalu saya rindukan.

Yang hancur lebur
akan terobati
Yang sia-sia
akan jadi makna
Yang terus berulang
 suatu saat henti
Yang pernah jatuh
‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh…. Yang hilang berganti.....
(Banda Neira)


Catatan: Bukunya sangat saya rekomendasikan untuk yang ingin belajar tentang BUMN Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Join Kegiatan di Kampus?

Launching

Picture of September